PENJELASAN UMUM
1. Undang-Undang tentang Acara Peradilan Agama adalah pelaksanaan dari ketentuan tersebut dalam pasal 12 Undang -Undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang-Undang no.14 tahun 1970 (LN. Tahun 1970 no. 74). Sesuai dengan maksud penjelasan umum angka 3 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut akan merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, maka Undang-Undang tentan Acara Peradilan Agama ini sepenuhnya didasarkan atas prinsip-prinsip yang tercantum di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
2. Peradilan Agama di Indonesia, sebelum berlakunya Undang-Undang tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Agama dan Undang-Undang ini diatur oleh tiga macam peraturan, yaitu:
a. Stb. 1882 no.152 jo. Stb. 1937 no. 116 dan 610 untuk Jawa Madura. b. Stb. 1937 no 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur, dan c. Peraturan Pemerintah no.45 tahun 1957 untuk daerah-daerah selain tersebut pada a dan b.
Ketiga peraturan tersebut di samping mengatur tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama juga mengatur tentang acaranya walaupun masih perlu disempurnakan. Didalam praktek pelaksanaan tugasnya Peradilan Agama mengikuti kebiasaan-kebiasaan dan pendapat ulama-ulama Islam yang termuat dalam Kitab-Kitab pengetahuan hukum Islam seperti yang termuat dalam Kitab "Al Muhadzdzab" dan lain-lain.
3. Selanjutnya telah dikeluarkan beberapa petunjuk oleh hof voor Islamitische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi) berupa circulaire seperti yang termuat dalam Circulaire tanggal 8 Nopember 1938 no.A/b/267 yang kemudian disusul oleh Cirkulaire lainnya.
Oleh Departemen Agama, setelah Peradilan Agama berada dalam wewenangnya dibuat beberapa bentuk peraturan dan edaran yang menjadi pegangan bagi Pengadilan-Pengadilan Agama di dalam melaksanakan tugasnya.
4. Akan tetapi oleh karena peraturan-peraturan dan petunjuk-petunjuk itu tidak terhimpun dalam suatu bentuk peraturan yang dikodifikasikan, maka dirasakan perulu disusun Hukum Acara Peradilan Agama dalam suatu bentuk peraturan tersendiri.
5. Walaupun Mahkamah Agung Bidang Agama disinggung dalam Undang Undang ini sebagai Pengadilan Negara Tertinggi yang melakukan pengawasan tertinggi serta tempat minta kasasi dan peninjauan kembali bagi Pengadilan Agama sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, acaranya tidak diatur melainkan diatur dalam Undang-Undang tersendiri.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
cukup jelas
Pasal 2
(1). cukup jelas.
(2). Pengadilan tidak boleh membiarkan suatu perkara berlarut-larut tidak diselesaikan, sehingga merugikan pihak yang bersangkutan.
Pasal 3
(1). Gugatan harus jelas apa yang diminta/digugat dan harus pula jelas duduk perkaranya.
(2). cukup jelas.
Pasal 4
cukup jelas.
Pasal 5
cukup jelas
Pasal 6
cukup jelas
Pasal 7
(1). s/d (6). cukup jelas
Pasal 8
(1). Apabila para pihak merasa tidak mampu atau tidak mengeri tentang masalah yang diperkarakan, maka para pihak dapat dibantu oleh penasehat Hukum.
(2). cukup jelas
(3). cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Untuk tidak merugikan kepada pihak tergugat yang tidak hadir, maka kepadanya diberi kesempatan untuk mengdakan perlawanan dalam batas waktu yang sudah ditentukan.
Pasal 11
cukup jelas.
Pasal 12
cukup jelas
Pasal 13
cukup jelas
Pasal 14
cukup jelas.
Pasal 15
Adapun keberatan tersebut dapat diajukan secara tertulis atau lisan dengan membayar biaya-biaya yang telah ditentukan, kecuali kalau dinyatakan tidak mampu oleh Lurah dan Camat.
Pasal 16
cukup jelas
Pasal .17
cukup jelas
Pasgl 18
cukup jelas
Pasal 19
Adapun gugatan balasan (rekonvensi) tidak dikenakan biaya-biaya gugatan/perkara.
Pasal 20
cukup jelas
Pasal 21
Tangkisan (eksepsi) dapat diajukan mengenai wewenang Pengadilan, baik yang bersifat atribiutief maupun distributif. Tangkisan yang dimasukkan sesudah jawaban pokok tidak dapat diterima.
Pasal 22
cukup jelas.
Pasal 23
cukup jelas
Pasal 24
cukup jelas
Pasal 25
cukup jelas
Pasal 26
cukup jelas
Pasal 27
(1). dan (2). cukup jelas (3). Apabila saksi tiga kali berturut-turut dipanggil tidak datang dan tidak dapat menunjukkan suatu alasan yang dapat diterima maka saksi dapat dikenankan tuntutan pidana.
Pasal 28
cukup jelas
Pasal 29 s/d pasal 46
cukup jelas
Pasal 46
(1). Akte otentik ialah akte yang dibuat dalam bentuk tertentu oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Akte dibawah tangan bisa dijadikan alat bukti asal tidak dibantah oleh pihak lawan dan hakim tidak terikat
oleh bukti yang demikian.
(2). cukup jelas
Pasal 47 s/d pasal 54
cukup jelas
Pasal 55
(1). Bila putusan tersebut cukup panjang, Hakim Anggota dapat membantu membacakannya sedangkan amar (diktum) harus dibacakan oleh Ketua.
(2). s/d (3). cukup jelas
(4). Penempelan salinan surat putusan pada papan pengumuman Pengadilan baru bisa dilakukan setelah lewat 30 hari sejak putusan tersebut diucapkan.
Pasal 56 s/d Pasal 59
cukup jelas
Pasal 60
Apabila permohonan banding tidak disampaikan dalam batas waktu pada pasal 59 Undang-Undang ini, maka putusan tersebut menjadi tetap yang harus dilaksanakan.
Pasal 61 s/d Pasal 73
cukup jelas.
Quelle: Departemen Agama, Laporan Loka Karya Badan Peradilan Agama 17 s/d 21 Januari 1977. Jakarta 1977.
|